Menu

Mode Gelap
 

Sejarah · 22 Jul 2024 10:47 WIB ·

Menapak Lereng Curam Pengetahuan Pewaris Batu-Batu Luhur Maek


 Menapak Lereng Curam Pengetahuan Pewaris Batu-Batu Luhur Maek Perbesar

Oleh : Arbi Tanjung

Maek dan Menhir. Satu kesatuan tak terpisahkan. Mirip dua sisi mata uang. Maek sebagai wadah, menhir objek penghuninya. Berjarak 170 km dari kota Padang. Lima Puluh Dua kilometer dari Sarilamak, ibukota kabupaten Lima Puluh Kota. Termasuk dalam wilayah kecamatan Bukit Barisan.

Dari Bukittinggi, saya menumpang bus umum sampai ke Limbanang. Kota penghubung sebelum melanjutkan perjalanan ke Suliki atau ke Maek. “Bus terakhir ke Maek jam empat sakit,” kata Jhon. Suaranya beradu keras dengan lantunan ayat quran dari pengerasan suara mesjid. Pertanda waktu ashar akan tiba
Jhon tukang ojek yang biasa mangkal di simpang pasar Limbanang. “Atau naik ojek saja. Biar saya antar” tawaran yang awalnya tidak saya gubris. Namun, saya terpaksa menumbanginya juga karena saya ditinggal bus. Bus ke Maek datang melintas pasar Limbanang ketika saya sedang salat Ashar di masjid.

Sepeda motor tahun 2004 Pak Jhon mengantar saya ke Maek. Jalan beraspal selebar empat atau lima lompatan orang dewasa. Tidak semuanya mulus, sebagian tanah berbatu dan berlubang.
Tikungan tajam mendaki dan menurun. “Kalau ke Maek rem kendaraan yang ditanya, kalau mau keluar Maek tenaga kendaraan yang ditanya” gumam Jhon. Sudut kemiringan lintasan rata-rata empat puluh lima derajat.

Daun-daun tanaman jenis pakis, bambu, ilalang menjulur seperti ingin menggamit apa saja yang melintas. Beberapa kali Pak Jhon berusaha menghindar “Sekarang pohon-pohon besar sudah banyak ditebang. Gantinya tanaman gambir, durian atau jeruk” Pak Jhon menjelaskan meski saya tidak minta. Perbukitan kiri kanan, muka belakang hampir rata berwarna hijau. Meskipun sebagian juga berwarna coklat bekas pembakaran.

Pikiran kacau saya membayangkan perjalanan FM Schnitger dan rombongan ke Maek sebelum Indonesia jadi sebuah negara. Arkeolog Belanda itu menempuh perjalanan ribuan kilometer dari negaranya hanya untuk melihat dan mempelajari batu-batu.

Batu tinggalan manusia penghuni lembah Maek masa lampau. Punya penamaan, bentuk dan fungsi yang beragam. Ada menhir, lumpang batu, dolmen dan batu dakon. Ada yang berfungsi sebagai penanda batas wilayah, penanda kubur, medium pemujaan leluhur, simbol harapan kepada pemimpin dan fungsi lainnya.
Batu-batu itu menyebar ke banyak tempa, sehamparan Nagari Maek yang kini terdiri dari 12 kejorongan.

Masyarakat Maek yang jumlahnya kurang sedikit dari 10.000-an itu tentu sangat dekat dengan tinggalan batu purba itu. Letaknya ada di belakang rumah, halaman depan, di ladang, pekarangan sekolah, bahkan sudut dapur mereka. Bagaimana pengetahuan mereka soal hubungan antara batu tinggalan itu dengan peradaban manusia pembuatnya? Manusia yang menjadi penghuni Maek jauh sebelum mereka hari ini.

“Sedikit sekali yang saya tahu. Pendahulu kami menggunakan situs Balai Batu sebagai tempat ritual tolak bolo. Ritual yang kini tidak ada lagi. Terakhir kali diadakan sekitar tahun 70-an” penjelasan Nengsih (42), pemilik rumah tempat saya menginap di jorong Koto Gadang.

“Situs Balai Batu” tulis Dominik Bonatz dalam buku Megalithen In Indonesischen Arhipel “satu dari delapan belas titik situs kawasan megalitik Maek” Arkeolog dan guru besar Berlin Universteit itu mencatat ada 738 batu menhir di sana.

Menhir terbuat dari batuan tufa andesit. Berbentuk persegi dan ada juga tak beraturan. Bagian atas ada yang melengkung, ada yang tidak. Sebagian ada ukiran sebagian polos.

“Motif ukirnya berupa tumpal (geometris), sulur-sulur (dedauan) bahkan ada yang bersifat faunal” tulis Herwandi yang memperoleh gelar magister di jurusan Arkeologi UI.

Batu tegak itu umumnya berdiri menghadap dua arah. Kelompok pertama orientasinya ke arah tenggara, mengarah ke gunung Sagu;dan kelompok kedua orientasinya ke arah utara-selatan.

Soal arah hadap, bentuk, ukiran, makna dan fungsi Menhir yang ada, sama sekali belum terjang kau bagi masyarakat Maek.

“Pengetahuan kami minim tentang itu. Kami membutuhkan para ahli untuk mengungkapnya, kemudian membaginya kepada kami” ungkap Datuak Bandaro Hijau. Pemangku adat dari suku Domo jorong Koto Tinggi.

Kejorongan yang memiliki situs dengan jumlah Menhir terbanyak dibandingkan situs lainnya. Kurang lebih 354 Menhir. Saat berkunjung ke lokasi situs yang dikelilingi tanaman karet dan gambir, di pintu gerbang situs tampak seorang ibu duduk mengamati tiga orang pengunjung yang sibuk mengambil foto.

“Ketika sepulang sekolah kami beramai-ramai melihat dan menyaksikan orang-orang bule dan tim sedang menggali beberapa lubang di situs ini.” Kenang Santina (55), tangannya menunjuk ke arah pamflet bertuliskan “Situs Bawah Parit-Koto Tinggi” Hurufnya tidak begitu jelas. Karat coklat kehitaman di sekeliling permukaan pamplet berbahan besi itu. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP.

“Sesering kami diusir oleh para anggota tim, segigih itu pula kami kembali mendekat untuk melihat proses tertentu” Santina menceritakannya penuh semangat. “Selain soal tertentu, yang saya tahu tentang Menhir hanyalah ritual tolak bolo. Kami mungkin pernah mendengar cerita yang lebih penting tentang Menhir dan peradaban Maek. Di dalam kelas saat mata pelajaran sejarahpun tidak.”

Santina menempuh pendidikan tingkat SMP sekitar tiga puluh tahunan silam. Saat ini, kenyataan yang sama masih dialami Leony. Siswi MTsN 7 Bukit Barisan yang terletak di kejorongan Ronah. “Kami belum pernah mengajarkan tentang Menhir dan peradaban Maek di dalam kelas” pengakuan jujurnya di hadapan peserta diskusi “Peta Perjalanan Penelitian Megalitik Maek” Leony siswi yang beruntung karena bisa menjadi peserta kegiatan bersama para niniek mamak, bundo kanduang, perangkat nagari, para guru, pemuda-pemudi nagari Maek.

“Kemungkinan itu hanya ada di materi keberagaman. Beberapa tahun terakhir materi ini saya kaitkan dengan peradaban megalitik. Meski secara khusus belum menyajikan pada tinggalan megalitik Maek.” terang Nopi Ardi, S.Pd (Pak Nop) wakil kesiswan sekaligus satu dari tiga guru IPS yang bertugas di SMPN 2 Bukit Barisan.

Ia putra aseli Maek. Pindah tugas dari Mentawai ke Maek sekitar tahun 2013. Ia mengakui bahwa tak banyak hal yang ia ketahui tentang hubungan Menhir dan peradaban nenek moyang orang Maek. “Padahal tinggalan megalitik itu ada di halaman depan ruang kelas sekolah kami” sambil tertawa ia tersipu malu bercerita. Lelaki kelahiran tahun 1985 mengkisahkan bahwa selama ia bertugas di kampungnya, belum pernah seorang siswa pun bertanya kepadanya tentang Menhir tinggalan megalitik Maek. “Kalaupun mereka bertanya saya harus menjawab apa, karena yang saya pelajari semasa sekolah hanyalah tinggalan megalitik di luar Maek.”

Mirip dengan yang pernah dialami Santina, Pak Nop menceritakan bahwa ia dan teman-temannya pernah menyaksikan kedatangan orang-orang berseragam sebuah kampus. “Saat itu saya masih kelas 2 SMP” katanya. Orang-orang yang berseragam kampus itu mengunjungi situs Bawah Parit dan Ronah.

Terkait guru yang mengajarkan tentang Menhir dan peradaban masa lalu orang Maek, hanya dari kisah Nengsih yang berhasil saya peroleh.

Nengsih menuturkan bahwa informasi tentang menhir dan peradaban Maek ia peroleh melalui tugas mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM). Ketika ia masih duduk di bangku SMP (sekitar tahun 1996).

“Guru menugaskan untuk mencari tahu bagaimana asal usul Maek,” kenangnya. “Saya dan teman sekelas pergi menemui almarhum Makcin (Azis Mongguang). Ia sesepuh nagari Maek. Masyarakat percaya ia adalah sosok yang banyak tahu tentang hal itu. Makcin juga dikenal sebagai panjawek warih (menerima waris) tentang asal-usul Maek dari generasi diatasnya. Demi menghindari penjelasan berulang, Makcin meminta kami untuk berkumpul di situs Balai Batu, Koto Gadang. Saya dan empat puluhan teman sekelas akan duduk di rumput sekitaran Menhir untuk mendengarkan penjelasan Makcin. Ritual tolak bolo (tolak bala) adalah satu-satunya kisah yang paling kami ingat dari sekian banyak penjabarannya. Kisah yang menghubungkan kami orang Maek hari ini dengan kehidupan megalitik Maek.”

Setelah dua puluh delapan tahun pengalaman Nengsih berlalu, kini para siswa (khusus tingkat SMA) kembali mempelajari Budaya Alam Minangkabau pada mata pelajaran muatan lokal. Mata pelajaran yang sempat menghilang dari kurikulum khususnya di Sumatera Barat “Mata pelajaran muatan lokal mengajar kembali sejak tiga tahun terakhir ” terang Krefoel Motra, S.Pd (Pak Motra) alumni pendidikan Fisika yang ditugaskan mengajar muatan lokal Budaya Alam Minangkabau di SMAN 2 Bukit Barisan. Sekolah yang baru berdiri sembilan tahun silam di nagari Maek.

“Meski belum pernah mengajarkannya, pengetahuan tentang menhir dan peradaban Maek bisa diajarkan melalui topik tau jo alam (tahu dengan alam)” Pak Motra menjelaskan sebelum pertanyaan lain saya luncurkan.

Upaya berbagi dan bersinergi dalam penggalian sekaligus menghimpun pengetahuan terkait menhir dan peradaban Maek terlihat dari berbagai rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat bekerja sama dengan ketua DPRD provinsi Sumatera Barat sejak dua tahun terakhir.

Agenda-agenda yang sebisa mungkin menempatkan masyarakat Maek sebagai lakon utama. Setidaknya terlihat dari tingkat keterlibatan dalam diskusi kelompok termumpun (kebijakan bidang adat, kebijakan bidang regulasi dan kebijakan bidang regulasi), berlanjut pada kegiatan diskusi “Membentangkan Maek.”

Forum Diskusi Internasional itu akan dihadiri oleh pelajar, mahasiswa, peneliti, dinas kebudayaan kabupaten /kota , akademisi, jurnalis, beberapa komunitas, tokoh masyarakat, dan masyarakat Maek Ketua DPRD Sumbar dan Dinas Kebudayaan Sumbar akan memaparkan kebijakan pemerintah provinsi terkait warisan dan pelestarian budaya BRIN memaparkan “Riset Perjalanan Maek”.Riset yang dilakukan tim ahli dan tim riset BRIN pada tahun 2023 lalu untuk mendudukkan pengetahuan tentang peradaban kuno Maek.

Prof. Ghada Elgemaeiy dari Universitas Kairo, Mesir memaparkan “Simbol dan Peradaban Kuno”. SEDANGKAN Dr. Satoru Miwa dari Jepang menyampaikan materi “Maek dan Masa Depan Peradaban”

Selain diskusi ada juga pameran yang membentangkan hasil penelitian tim UGM dan BRIN. Pada tahun 2023 tim penelitian yang diketuai oleh Prof. Herwandi ke UGM dan BRIN terkait kerangka temuan 1986 menyimpulkan bahwa 7 kerangka tersebut telah dibagi menjadi 3 partisi, yaitu temuan budaya, ekofak, dan partisi terkait biologi. Masing-masing partisipan lalu disimpan di tempat yang berbeda. Temuan budaya disimpan di Arkenas (kini BRIN), di Laboratorium Arkeologi dan Paleonlogi Fak Kedokteran UGM, dan Universitas Padjajaran Bandung.

Puncak kegiatan berbentuk sebuah perayaan yang diberi nama Festival Maek. Ada kegiatan yang dituangkan dalam agenda pra-festival dan ada juga saat festival. Kelompok kegiatan pra-festival antara lain: diskusi dan presentasi, pameran hasil penelitian dan FGD, residensi seniman dan workshop kekaryaan serta Lomba Feature dan Foto Esai.

Puncak kegiatan festival berupa diskusi dan presentasi serta seni pertunjukan.

* Penulis berkegiatan di Komunitas Pasaman Boekoe Indonesia

Artikel ini telah dibaca 79 kali

Baca Lainnya

Ekosistem Batanghari: Konstruksi dan Estetika Candi Masa Sriwijaya-Jambi

29 October 2024 - 02:23 WIB

Manutuik Kaji Sebelum Ramadhan

10 March 2024 - 02:26 WIB

Konsep Barundiang Sabagai Ujuik Demokrasi di Minangkabau

7 June 2023 - 16:18 WIB

Batajau Silek; Tradisi Silaturahmi Antar Perguruan

2 June 2023 - 14:46 WIB

Sumando di Minangkabau

23 May 2023 - 18:07 WIB

4 Alasan Tradisi Marantau Urang Minang

21 May 2023 - 17:20 WIB

Trending di Sejarah