Menu

Mode Gelap
 

Sastra · 26 Oct 2024 19:33 WIB ·

Cerpen – Ruang Sendiri


 Cerpen – Ruang Sendiri Perbesar

Oleh : Muhammad Fatih Rabbani

Di sebuah sore yang hangat, Zul duduk di teras rumahnya, memandangi langit biru yang mulai menghiasi awan-awan tipis. Angin berhembus lembut, seolah-olah dia bertanya-tanya. Namun, pikirannya melayang jauh, menembus batas ruang dan waktu. Ada perasaan yang menggelayut di hatinya—perasaan merindukan sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya: kesendirian. Bukan berarti ia merasa jenuh dengan kehadiran orang lain, tetapi ada dorongan yang kuat dalam dirinya untuk menemukan kembali kedamaian dalam ruang sendiri yang dulu pernah begitu nyata, namun kini terasa samar.

Sudah beberapa minggu terakhir, konfigurasi dengan Mira terasa sangat intens. Hampir setiap hari, mereka bertemu, bercengkerama, dan menghabiskan waktu bersama, seakan tidak ada ruang bagi jeda. Pada awalnya, kebersamaan itu membawa kebahagiaan yang berlimpah bagi Zul. Bersama Mira, semuanya terasa lebih ringan—mereka tertawa, berbagi cerita, hingga larut malam. Namun, kini Zul mulai merasa tercekik dalam rutinitas yang monoton. Seolah-olah setiap waktu yang ia miliki, terikat pada Mira.

Hari ini, rasa penat itu memuncak. Zul memandang ponselnya yang tiba-tiba bergetar di meja, menampilkan pesan dari Mira. “Aku di dekat rumahmu. Kita mau ke mana sakit ini?”

Zul menjawab. Tangannya menggenggam ponsel, namun pikirannya penuh keraguan. Kali ini, dia merasa tidak ingin bertemu. Bukan karena Mira telah berubah atau karena ia tak lagi mencintai gadis itu, tetapi ada dorongan kuat di hatinya yang meminta waktu untuk sendiri. Sesuatu yang sulit ia jelaskan, bahkan kepada dirinya sendiri.

Dengan tarikan napas panjang, Zul mulai mengetik balasan. “Bisa kita tidak bertemu hari ini? Aku butuh waktu sendiri,” tulisnya dengan ragu. Ia sadar, pesan itu mungkin akan membuat Mira bingung. Hubungan mereka telah menjadi bagian besar dari kehidupan masing-masing, dan ketidakhadiran satu sama lain lebih dari sekedar jarang—itu hampir mustahil. Tapi Zul tahu, jika ia terus menjalin kebersamaan ini tanpa memberi jeda, perasaannya akan semakin memudar.

Setelah pesan terkirim, Zul termenung. Di satu sisi, ada rasa lega yang menjalari tubuhnya. Di sisi lain, ia merasakan beban kecemasan—bagaimana jika Mira tidak mengerti? Bagaimana jika ini menjadi awal dari retaknya hubungan mereka? Namun, Zul berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lakukan adalah demi kebaikan mereka berdua. Jarak, dia, bukan tanda perpisahan, melainkan cara untuk rindu merawat.

Malam mulai menggantikan menggantikan sore yang sejuk. Suara cengkerik mulai terdengar dari keheningan, mengiringi ketenangan yang Zul rasakan. Kesendirian yang ia rindukan, kini terasa begitu nyata. Namun, kali ini, kesepian itu tidak lagi menakutkan. Ia justru merasa menemukan kembali bagian dari dirinya yang lama hilang.

Sementara itu, di sisi kota lain, Mira menatap layar ponselnya dengan bingung. Pesan dari Zul terasa janggal baginya. “Waktu sendiri?” gumamnya pelan. Zul selalu ada di sisinya, bahkan di saat-saat paling sederhana sekalipun. Tak pernah ada tanda-tanda bahwa Zul merasa terbebani dengan hubungan mereka. Mira merasa cemas, apakah ada sesuatu yang Zul sembunyikan?

“Kenapa dia tiba-tiba ingin sendiri?” pikirnya. Di sisi lain, Mira tidak ingin terlalu bersantai Zul dengan pertanyaan atau tekanan. “Mungkin dia benar-benar butuh waktu,” batinnya. Namun, pemikirannya tidak bisa tenang. Kecemasan perlahan menggerogoti pikiran Mira. Apakah Zul mulai merasa bosan? Apakah ia terlalu menuntut kebersamaan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Mira hingga membuatnya resah.

Mira mencoba menenangkan diri, tetapi dorongan untuk menghubungi Zul terus mendesaknya. Namun kali ini, ia memutuskan untuk memberi ruang. Bagaimanapun juga, hubungan yang sehat memerlukan kepercayaan, dan Mira percaya pada Zul.

Hari-hari berlalu, dan Zul tetap menjaga jarak dari Mira. Meski kesepian, ia merasa lebih damai. Dalam ruang ini, ia menemukan kembali dirinya. Ia mulai melakukan hal-hal yang dulu sering ia lakukan sebelum bersama Mira—berjalan sendirian di taman, membaca buku tanpa gangguan, bahkan hanya duduk merenung di teras rumah. Di sela-sela waktu itu, ia mulai menyadari sesuatu yang penting: kebersamaan yang terlalu intens bisa menghilangkan rasa rindu.

Namun, tak dapat dipungkiri, Zul juga merasakan kehilangannya. Ada saat-saat di mana ia merindukan tawa Mira, cara gadis itu bercerita, atau sekadar kehadirannya di pernikahan. Tetapi, Zul sadar, merindukan Mira adalah hal yang baik. Perasaan rindu itu membuatnya menyadari betapa pentingnya Mira dalam hidupnya. Tanpa jarak, cinta mereka akan menjadi datar. Tanpa rindu, cinta kehilangan maknanya.
Setelah beberapa hari, ketika matahari pagi mulai menembus tirai jendela ruangan, ponsel Zul kembali bergetar.

Sebuah pesan muncul dari Mira. “Aku mengerti. Terkadang kita memang butuh waktu sendiri. Tapi percayalah, aku akan selalu ada di sini ketika kamu siap.”
Zul tersenyum kecil. Pesan singkat itu menenangkan hati. Mira mengerti. Ia tahu, ini bukan tentang keinginan untuk pergi selamanya, melainkan kebutuhan untuk kembali merasakan rindu yang sudah lama hilang. Zul merasa lebih lega, dan dalam pikirannya, ia sudah siap bertemu Mira lagi. Tapi kali ini, dengan perasaan yang lebih segar, lebih kuat.

Hari itu, Zul menghabiskan waktunya berjalan-jalan di taman. Ia menikmati kesegaran udara dan mengamati keramaian-pikuk orang di sekitarnya. Setiap langkahnya terasa ringan, dan dalam pemahamannya, ia tahu bahwa hubungan mereka telah berubah—tidak dalam arti yang buruk, tetapi menjadi lebih sehat. Ia sadar bahwa rindu adalah bumbu yang harus dijaga dalam cinta. Tanpa rindu, cinta tak akan bertahan lama. Dan tanpa jarak, rindu tak akan pernah tumbuh.

Malamnya, saat ia duduk kembali di teras rumah, seperti sore beberapa hari yang lalu, udara malam menyapa tubuh yang kini terasa lebih tenang. Kesepian yang semula menakutkan kini berubah menjadi teman yang hangat. Zul merasa lebih siap menghadapi hari-hari berikutnya, lebih siap untuk bersama Mira lagi, karena kini ia mengerti bahwa cinta, seperti api, membutuhkan udara untuk terus menyala.

Ketika akhirnya Zul dan Mira bertemu kembali, senyum mereka terasa lebih tulus, lebih penuh makna. Tidak ada kecanggungan, hanya perasaan bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang hilang—rindu, ruang, dan cinta yang lebih dalam.

========

Muhammad Fatih Rabbani adalah seorang mahasiswa Fakultas Humaniora jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dengan ketertarikannya yang mendalam terhadap seni dan sastra, Fatih aktif terlibat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan dunia kreatif, termasuk berpartisipasi dalam komunitas desain. Karya pertama ini merupakan langkah awal dalam menyampaikan imajinasi dan menyampaikan pesan-pesan penting melalui karya sastra. Melalui tulisan-tulisannya, Fatih berharap dapat menginspirasi pembaca untuk lebih memahami makna hidup dan menemukan keindahan dalam setiap momen. Dengan semangat yang tak kenal lelah, ia berkomitmen untuk terus mengembangkan karyanya dan memberikan kontribusi positif bagi dunia sastra.

Artikel ini telah dibaca 157 kali

Baca Lainnya

Di Antara Napas Terakhir

13 December 2024 - 17:11 WIB

Gadis Berwajah Dingin

20 October 2024 - 14:07 WIB

Kencan Buku Sukses Digelar di Gedung Rumahkayu Pustaka; Dorong Literasi di Sumbar

21 June 2024 - 14:54 WIB

Catatan Kecil untuk Nenek

6 June 2024 - 13:31 WIB

Sajak-Sajak Alfarizi Andrianaldi

12 November 2023 - 10:05 WIB

Sajak-Sajak Muhammad Asqalani eNeSTe

12 November 2023 - 09:57 WIB

Trending di Sastra