Oleh : Wahyu Saptio Afrima (Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)
Parewa.co | Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dapat dipisahkan dari seluruh sendi kehidupan manusia. Hampir semua lini kehidupan masyarakat dimasuki oleh kemajuan teknologi, dan semua itu tidak dapat disanggah dan dihambat arusnya. Kecepatan persebaran informasi seakan dunia seperti dalam genggaman. Apa pun dari belahan penjuru dunia dapat diakses oleh siapa saja dalam waktu sekejap hanya dengan bantuan sebuah alat yang kita sebut handphone dan internet.
Kemajuan yang dicapai manusia dalam hal apapun, teknologi-teknologi dilahirkan dengan tujuan untuk mempermudah manusia dalam menjalani segala aktivitas, tujuan serta keinginan mereka. Namun nyatanya teknologi tidak selamanya tentang kemajuan, kecanggihan dan segala kepraktisan yang ditawarkannya.
Dibalik semua itu, teknologi memiliki dua sisi yang sangat berlainan. Di saat semua akses informasi bisa diraih siapapun dan dimanapun nyatanya juga membawa hal-hal negatif bagi budaya setempat, khususnya pemuda. Pemuda sebagai generasi penerus atau disebut juga “agent of change” adalah penentu perubahan, mereka yang sangat haus informasi serta hal baru yang belum mereka ketahui. Sudah sifat generasi muda untuk mengikuti sesuatu yang sedang “trend” dan akan ketinggalan jika tidak mengikutinya, namun tidak jarang mereka terperosok dan melakukan hal yang bertentangan dengan norma serta budaya dimana mereka berada.
Minangkabau adalah sebuah etnis besar yang tidak hanya berada di Sumatera Barat sekarang saja, tetapi peradaban dan kebudayaannya juga mempengaruhi banyak wilayah yang berada disekitarnya, bahkan hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia. Di kenal dengan falsafah ”Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah, Syarak mangato adaik mamakai” dimana seluruh aturan, tradisi, dan kehidupan masyarakat diatur sesuai dengan syariat Islam.
Waktu berlalu masa berganti perlahan sedikit demi sedikit kearifan dan kebesaran adat Minangkabau mulai tergerus kuatnya rongrongan arus pusaran dan westernisasi. Anak-anak muda mulai bermigrasi dengan budaya barat dan timur, satu dua aturan adat mulai tidak diindahkan lagi, budaya dan tradisi mulai ditinggalkan kebanyakan anak muda kehilangan budaya mereka telah kuno dan ketinggalan zaman.
Begitu pula dengan eksistensi surau di tengah masyarakat, surau yang dahulunya sebagai basis pendidikan terpenting dan tidak bisa dipisahkan dari jiwa masyarakat. Tempat pemuda ditempa dengan pemahaman agama, belajar Silek sebagai bela diri untuk bekal diperantauan kelak. Sarana mamak untuk melarang pepatah petitih dan pemahaman adat bagi kemenakan.Kini sepertinya hanya tinggal ceritanya saja.
Surau-surau kaum yang dimiliki oleh masing-masing suku di tiap nagari kini tak lagi berpenghuni, bahkan sekedar adzan sholat lima waktu saja sekarang sudah jarang terdengar. Peranan mamak sebagai pemegang kendali penuh atas kemenakan kini hanya tinggal nama, kewibawaan mamak mulai redup dimata kemenakan. Tidak lain bukan karena banyak hal, salah satunya karena kemenakan tidak lagi tinggal di surau khususnya laki-laki, mereka sekarang tinggal di rumah laki-laki bersama orang tua, dibuatkan kamar sendiri. Mamak tidak lagi punya banyak waktu untuk mengajari kemenakan, faktor lain juga disebabkan karena orang tua tidak lagi menanamkan kepada anaknya tentang posisi mamak dalam keluarga.
Berbagai dinamika yang timbul di tengah masyarakat saat ini tidak lain disebabkan karena telah ditinggalkannya nilai budaya itu sendiri, anak-anak tidak lagi mengajarkan tentang sifat raso jo pareso. Sifat malu dan santun santun telah jauh berkurang dari jiwa pemuda, karena tidak ada lagi belajar tentang kato nan ampek semua itu disebabkan karena telah memudarnya peran surau sebagai sentral pendidikan karakter bagi pemuda. Mamak sekarang ibarat elang kehilangan sayap, tidak lagi memiliki kekuatan mengatur dan mengajari kemenakan.
Bahkan mirisnya lagi fenomena yang terjadi sekarang, banyak anak muda yang tidak lagi lancar berbahasa minang hal ini disebabkan karena orang tua tidak lagi melarang bahasa minang sebagai bahasa ibu dirumah kepada anak sehingga perlahan bahasa minang kehilangan penuturan yang bisa berdampak pada kepunahan bahasa itu sendiri. Alasan lainnya adalah karena anak muda merasa malu berbahasa minang dalam pergaulan, menganggap bahasa minang sudah ketinggalan dan tidak keren.
Begitu pula dengan minat pemuda dalam mempelajari tradisi dan kesenian, sebut saja Randai dan Silek. Satu persatu sasaran atau tempat latihan silat ditutup, bukan karena guru yang tidak ada lagi melainkan karena tidak ada lagi murid- murid untuk diajari silat. Mereka lebih suka berkumpul di tongkrongan, pergi melihat orgen tunggal atau belajar bela diri lain yang mereka anggap lebih keren dengan seragamnya. Padahal sama-sama diketahui bahwa silat minangkabau adalah salah-satu bela diri masyhur di Indonesia, sebagai bekal bela diri yang dibawa oleh perantau minang kemanapun sejak dahulu. Tidak jauh beda dengan randai, bahkan hari ini jika randai ditampilkan dalam sebuah acara, apakah acara perhelatan atau sebagainya seakan sebuah penampilan asing bagi pemuda, karena tidak ada lagi di daerah mereka tempat belajar kesenian ini.
Kemajuan zaman dengan segala perubahan yang dibawanya memang tidak bisa dipungkiri, selalu ada dampak negatif dan positif yang ditimbulkan. Seperti halnya yang terjadi pada pemuda di Minangkabau, dengan segala dampak negatif yang muncul. Kita tidak bisa menahan laju kemajuan zaman agar budaya kita tidak hilang, tetapi kita bisa menanamkan nilai dan kearifan lokal kepada generasi muda agar tidak tergerus budaya yang datang. Terapkan kembali nilai luhur, lestarikan budaya dengan melarang kembali kepada pemuda, dan berikan wadah kepada pemuda untuk berekspresi. Semoga dengan segala upaya itu, segala kekayaan budaya lokal tetap lestari dan tidak lekang oleh panas serta tidak luntur oleh hujan.
(HA)