Mie Ayam
Tiba di Kebun Jeruk, aku gemetar membayangkan kelok jalan di tubuhmu; lembut-kenyal perawakanmu. Atau semerbak harum cincang ayam negeri yang tak pernah jenjang usia menjulang. Pun begitu pula daun hijau segar bermarga bawang yang teramat akur dengan bawang goreng, meski keduanya bukanlah saudara kandung. Sumpah, anggun nian kau tidur dalam wadah legenda yang bergelar ayam jago kepala merah. Hingga si kembar yang tak serupa, denting berdentang beradu pedang. Bayangkan, betapa paripurna kelak lambung meluluhkanmu bila kerongkongan teliti paham meloloskanmu. Ini mie ayam terenak nomor dua di jagad raya. Loh, nomor satunya ada di mana? Nomor satu sedang dirancang, dan semoga segera lahir ke fana dunia, kataku kepada diri sendiri. Maka segeralah tuang kuah kental merah, medok si hitam manis, dan jika lidah cukup tangguh, keroyok saja bersama lombok Jawa nan tandiknya sampai ke mata; yang mendadak buta saat calon mertua lewat berdua.
Akasia 11CT
Puisi Kepada Penyair Jantung Lebah Ratu
Ini puisi, kataku. Mungkin juga belum puisi, katamu. Dan aku teramat sangsi mengalamatkannya kepada kau si jantung hati. Kau bukan hanya keras hati takzim menziarahi luas raya nagari. Namun telah pula kali berulang mengelilingi galaksi bima sakti. Seraya cemerlang mengupas-menguliti, menakluki-menyelami apa-apa yang terang terberkati dan ragam rahasia yang gelap sunyi tersembunyi—sampai tandas ke suluk terdalam inti; kemudian hilang menjadi puisi. Maka demi puisi itu sendiri, duhai kau Buli-Buli Lima Kaki, jangan pernah kau bandingkan apa yang masih setakat aku amati dengan buah tangan kau yang tinggi putih budi pekerti. Sebab puisi seumpama puan jelita yang tak pernah sudi bibir sang jejaka berbagi berahi.
Akasia 11CT
Pelangi
Sungguh fakir hamba, bianglala
Ketika patik coba menyeret engkau masuk lebih ke dalam
Lebih memanjang melewati panjang itu sendiri
Agar yang gelap dari puisi ini mudah belaka dicecap lidah
Sungguh melarat kami, bianglala
Kala khadam sepertiku benar-benar tak tahu malu melukaimu
Supaya merah puisi ini terasa lebih merah ketimbang merah itu sendiri
Hingga segenap yang berbau merah semua berbau puisi belaka
Sungguh papa beta, bianglala
Jika harus habis-habisan memasyhurkan engkau
Sedangkan sejak pangkal kata, barangkali juga hulu kalimat dalam puisi ini
Senyata tak sekubit pun engkau abdi jamah wahai bianglala
Maka kasihanilah aku, bianglala
Semata agar kembang putih gaun milikmu
Tak tercemar oleh kering-pucat puisi ini
Nan sahih sarit akan umpama
Akasia 11CT
Kota Baru
Serupa mengenakan gaun hijau pada tubuh
Berpayah-payah sungguh berlelah-lelah.
Seperti meminum jamu penyubur jisim
Begitu tak lazim namun mesti takzim.
Semacam membolos dari sekolah
Kelasah-kelusuh betapa kelesah.
Seolah-olah bertemu sang kekasih
Ada yang membuncah; yang pecah.
Bahwa mengenakan gaun
Bahwa meminum jamu
Bahwa membolos dari sekolah
Bahwa bertemu sang kekasih
Semata umpama belaka, belaka.
Akasia 11CT
Bagi Hasan Al Banna
Kau khusyuk sungguh
Menyembunyikan luka
Meski kau amat mahir
Menghunuskan kasam.
Kau bukan main tekun-tabah
Menjalari sunyi itu sendiri
Agar tak seorang pun mafhum
Bahwa sepimu sepi yang riuh.
Alangkah lihai engkau tuan
Hingga seluruh penonton
Tak sabar menanti wartamu
Yang (kata mereka) mati muda.
Kendati (selalu) percaya tuan
Akan kembali mewarnai jagat
Tetap saja gelisah ini kurawat
Agar rindu ini tak kuning berkarat.
Kau tekun meyakinkan ilhamku
Agar aku rajin belaka memuisi
Tatkala yaumku dikepung kerepotan
Mayapada maupun perihal puan jelita.
Namun (sungguh) segerakanlah
Menyembul atas pertapaan itu
Supaya bising di luar ini
Tak cukup kuat memilin geliatmu.
Kaukah puisi yang kutunggu?
Akasia 11CT
ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Puisi-puisinya ada yang ditolak redaksi ada yang dimuat redaksi. Buku kumpulan puisinya “Pertanyaan yang Menyelinap” akan segera terbit.